OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Sebetul nya, hanya orang-orang munafik saja yang tidak mau mengakui cita-cita mulia dari Program Perhutanan Sosial. Bagi orang-orang yang vusioner dan cerdas, dijamin halal mereka akan memberi dukungan penuh terhadap Program Perhutanan Sosial. Catatan kritis nya adalah Kebijakan dan Program Perhutanan Sosial seperti apa yang sebaik nya kita kembangkan ?
Sebagaimana yang kita pahami bersama, Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam
kawasan hutan negara atau hutan hak atau hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keseimbangan lingkungan dan dinamika so-
sial budaya, yang dilaksanakan dalam bentuk hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat (HA) dan kemitraan kehutanan (KK).
Dalam Kerangka Acuan Workshop Integrasi Implementasi Kebijakan Perhutanan Sosial dan Forestry Program V disebutkan Kebijakan terbaru perhutanan sosial tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), Pasal 29A dan Pasal 29B, yang menyebutkan bahwa Perhutanan Sosial dapat dilakukan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
Pengaturan lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Pengaturan secara terperinci sebagai pelaksanaan UU dan PP terkait dengan perhutanan sosial dituangkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) Nomor P.9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Peraturan Menteri Kehutanan tersebut merupakan penyempurnaan dari pengaturan-
pengaturan sebelumnya guna mengakomodir fakta dan dinamika di lapangan termasuk terkait dengan pengarus-utamaan kesetaraan gender, yang dirumuskan secara holistik,
integratif, tematik dan spasial (HITS) mulai dari prores pengusulan areal pengelolaan
perhutanan sosial sampai dengan pengembangan usaha, termasuk pengaturan terkait dengan pengenaan sanksi atas tindakan pelanggaran hukum terhadap peraturan perundang-undangan.
Peraturan ini secara pokok mengatur tentang: (1) persetujuan
pengelolaan perhutanan (2) kegiatan pengelolaan pengelolaan, (3) perhutanan sosial pada ekosistem gambut, (4) jangka benah kebun rakyat, (5) pembinaan, pengawasan dan pengendalian, (6) percepatan perhutanan sosial, dan (7) sanksi administrasi, serta (8) hutan rakyat.
Dari sisi regulasi, Perhutanan Sosial tampak sudah terbilang lengkap. Justru yang perlu untuk diperbincangkan lebih lanjut adalah terkait dengan sisi perencanaan yang utuh, holistik dan komprehensif sekaligus dengan sisi implementasi nya di lapangan. Apakah kita sudah memiliki desain perencanaan dalam sebuah Grand Desain Perhutanan Sosial 25 Tahun ke Depan ? Apakah kita sudah mampu membuat formula SUKSES PERENCANAAN = SUKSES PELAKSANAAN program Perhutanan Sosial ?
Lalu, bagaimana pula dengan implementasi nya di lapangan ? Apakah lahan hutan yang 4,8 juta hektar dan diserahkan kepada para penerima manfaat Program Perhutanan Sosial tersebut, telah benar-benar dimanfaatkan secara optimal ? Hal ini penting diangkat, karena berdasarkan pengamaran yang universal, di awal-awal program ini digelindingkan, di beberapa lokasi diperoleh kabar ada nya para penerima manfaat yang duduk termenung lesu, karena tidak ada nya modal kerja untuk menggarap lahan yang 2 hektar itu.
Mereka cukup kebingungan juga dengan program Perhutanan Sosial ini. Mereka rata-rata mempertanyakan mengapa Pemerintah menutup mata atas suasana kehidupan nya ? Boro-boro untuk menggarap lahan yang 2 hektar, untuk menyambung nyawa kehidupan nya saja, mereka harus banting tulang sekuat tenaga. Bukankah akan lebih baik, kalau disamping diberi aspek legal untuk mengelola lahan yang 2 hektar tersebut, mereka pun diberi modal kerja untuk menggarap nya.
Prinsip lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali, kelihatan nya cukup pas untuk dilekatkan pada program Perhutanan Sosial ini. Kalau hingga kini kita belum memiliki Grand Desain Perhutanan Sosial 25 Tahun ke Depan, maka menjadi tugas kita bersama untuk melahirkan nya. Akan lebih afdol, jika program Perhutanan Sosial pun kita simpan dalam RPJP atau RPJPD dan tidak sekedar ditaruh dalam RPJMN atau RPJMD semata.
Dalam penyusunan nya, tentu Bapenas akan lebih berkompeten ketimbang Kementerian teknis lain nya. Kita percaya, Bapenas akan mampu merajut berbagai hal yang ada kaitan nya dengan pengembangan Perhutanan Sosial ke depan. Bapenas juga akan dapat merajut pendekatan teknokratik, partisipatif, top down-bottom up dan politis dalam perumusan desain perencanaan nya.
Arti nya, bila selama ini perencanaan program Perhutanan Sosial lebih "dinakhkodai" oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka ke depan ada baik nya 'prime mover" perencanaan dikendalikan oleh Bapenas di tingkat Pusat dan Bapeda di tingkat Daerah. Kalau boleh jujur, mesti nya langkah semacam ini digarap sedini mungkin, khusus nya tatkala program Perhutanan Sosial mulai digulirkan Pemerintah.
Ada nya kesangsian masyarakat akan keberlangsungan program Perhutanan Sosial seusai Presuden Jokowi lengser pada tahun 2024 mendatang, sepatut nya kita cermati dengan serius. Kita perlu meyakinkan masyarakat bahwa program Perhutanan Sosial keberlanjyran nya tidak hanya ditentukan oleh sosok Presiden Jokowi. Siapa pun Presiden nya program Perhutanan Sosial harus terus berlangsung dan berkesibungan.
Hanya kita pun tidak boleh memungkiri betapa tinggi nya kesungguhan Presiden Jokowi dalam mengembangkan program Perhutanan Sosial di negeri ini. Seorang sahabat malah menyatakan tanpa ada sosok Presiden Jokowi, jangan harap program Perhutanan Sosial akan mampu tumbuh dan berkembang seperti sekarang ini. Berkat keberpihakan dan kecintaan Presiden Jokowi kepada masyarakat di sekitar desa hutan, maka wajib bagi pejuang program Perhutanan Sosial untuk mendukung dan memuluskan pelaksanaan nya di lapangan.
Bila sekarang ini terdengar ada penyimpangan atau perkeliruan, maka kita harus pro aktif untuk segera membenahi nya. Program Perhutanan Sosial wajib hukum nya untuk diselamatkan. Kita jangan pernah lelah untuk memberi kritik membangun kepada para pengambil kebijakan. Semua ini dilakukan agar cita-cita mulia program Perhutanan Sosial menjadi gagal karena keteledoran dalam perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan yang diterapkan.
(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).