Top Menu

DaerahNews

Menjaga Setiap Tetes Air: Cerita dari Balik Kebijakan SDA NTB

Redaksi
Jumat, 17 Oktober 2025, Oktober 17, 2025 WAT
Last Updated 2025-10-17T13:00:53Z
Kabid SDA Dinas PUPR Provinsi NTB, Lalu Kusuma Wijaya, saat diwawancarai di ruang rapat Kantor Bappeda NTB.(Foto : Winda).

Mataram, NTB — Senin, 12 Oktober 2025, di ruang rapat Kantor Bappeda Provinsi NTB, suasana tampak tenang ketika Kepala Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas PUPR Provinsi NTB, Lalu Kusuma Wijaya — yang akrab disapa Mamik Jaya — duduk dengan seragam dinasnya, membuka buku catatan kecil di hadapannya. Dengan nada kalem namun tegas, ia memulai perbincangan.

“Pengelolaan air itu urusan semua orang,” katanya. “Ia multistakeholder dan multisektor. Dari hulu sampai hilir, semua harus terlibat.”

Pernyataan itu muncul bukan tanpa alasan. Dalam beberapa pekan terakhir, tim Lintas Samudera menelusuri tiga lokasi berbeda di Pulau Sumbawa — pemutakhiran kelembagaan P3A di Plampang, musyawarah distribusi air di Bendungan Beringin Sila, dan pembangunan kantong air di Sumbawa Timur.
Hasilnya memperlihatkan pola yang serupa: masalah air bukan semata karena kemarau, tapi juga menyangkut kelembagaan petani, kondisi jaringan irigasi, hingga keterbatasan anggaran.

Menurut Mamik Jaya, tantangan terbesar pengelolaan air di NTB justru bukan pada ketersediaan sumber, melainkan tata kelola dan distribusi.

“Kita punya bendungan, embung, bahkan kantong air di banyak titik. Tapi kalau kelembagaan petani lemah, air tidak akan sampai ke sawah,” ujarnya.

Ia menjelaskan, di banyak daerah seperti Plampang atau Bima, organisasi P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) dan GP3A kerap tidak aktif, bahkan datanya belum dimutakhirkan.
“Padahal P3A itu ujung tombak distribusi air,” katanya. “Kalau kelembagaan tidak kuat, konflik antarpetani mudah muncul.”

Pemerintah Provinsi NTB, lanjut Mamik Jaya, kini sedang memutakhirkan data kelembagaan P3A/GP3A/IP3A melalui koordinasi dengan kabupaten dan Balai Wilayah Sungai.
“Tujuannya bukan sekadar data, tapi penguatan kelembagaan petani agar mereka bisa bermusyawarah dan mandiri,” jelasnya.

Ia juga menilai perlu adanya regulasi atau perda yang memberi legitimasi lebih kuat bagi P3A. “Selama ini posisi mereka lemah di mata hukum. Padahal mereka pengelola utama di tingkat lapangan.”

Di sisi lain, keterbatasan anggaran menjadi momok klasik. Tahun ini, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA) Timur hanya mendapat sekitar Rp5 miliar dari Dana Alokasi Khusus.
“Padahal kebutuhan riil untuk perbaikan jaringan irigasi mencapai puluhan miliar,” ungkap Mamik Jaya.

Ia mencontohkan, sejumlah jaringan di Sumbawa dan Bima masih berupa tanah, sehingga air banyak terbuang sebelum sampai ke sawah. “Bukan tidak mau memperbaiki, tapi anggaran memang terbatas. Kita harus menentukan prioritas.”

Konflik distribusi air antar petani sempat mencuat di wilayah Utan dan Bima, ketika air dari bendungan tidak mengalir ke daerah hilir.
“Kalau distribusi tidak adil, potensi konflik pasti ada,” ujar Mamik Jaya.
Untuk itu, PUPR mendorong mekanisme musyawarah petani air agar setiap jadwal buka-tutup pintu air disepakati bersama.

“Musyawarah ini bukan hanya tradisi, tapi bagian dari sistem sosial yang kita hidupkan kembali,” ujarnya. “Petani harus dilibatkan sejak awal, bukan hanya menerima hasil proyek.”

NTB kini menghadapi tekanan perubahan iklim: curah hujan makin tidak menentu, sementara target produksi pangan terus naik.
“Kalau NTB mau tetap jadi lumbung pangan nasional, kita harus punya peta jalan air yang jelas,” tegas Mamik Jaya.
Ia menyebut strategi provinsi mencakup konservasi hulu, pembangunan embung kecil, serta digitalisasi data debit dan kebutuhan air irigasi.

“Air bukan hanya urusan bendungan besar,” katanya. “Embung, kantong air, dan sumur bor semua punya peran dalam ketahanan pangan.”

Sebelum menutup wawancara, Mamik Jaya menatap peta besar jaringan sungai NTB di dinding ruangannya.
“Air itu anugerah,” ucapnya pelan. “Tapi tanpa tata kelola, ia bisa jadi musibah. Tugas kita memastikan setiap tetesnya bermanfaat — dari hulu hingga hilir.”

Bagi Mamik Jaya, masa depan pangan NTB bergantung pada satu hal sederhana namun krusial: kolaborasi.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri,” katanya. “Air hanya akan adil mengalir jika kita semua bergerak bersama.” (winda/bgs)

TrendingMore